PASAL MAKAR UNTUK KORBAN

Kronologis Kongres Rakyat Papua (KRP) III

Masyarakat Papua menggelar KRP III, tanggal 16-19 Oktober 2011. Mengangkat tema, "Menegakkan Hak-hak Dasar Orang Asli Papua di Masa Kini dan Masa Depan."

Menurut Ketua Panitia KRP III, Selpius Bobii, acara KRP III sudah mendapatkan ijin dari polhukam di Jakarta, ditembuskan ke Polda Papua dan Intelkam. KRP III dianggap sah, karena sudah ada ijin/pemberitahuan tertulis.

KRP III digelar di lapangan sepak bola Zakheus, tepatnya di belakang SMP Paulus, Padang Bulan, Abepura, Jayapura. Jumlah massa 500-an.

Ibadah pembukaan yang dipimpin oleh Yermias Dimara. Di tengah prosesi ibadah itu, para pimpinan dari 7 wilayah adat di Papua di antaranya Tabi, Lapago, Mepago, Hananim, Saireri, Doberai, dan Bomberai, serta Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yoboisembut diundang maju ke tengah lapangan. Mereka diarahkan supaya mendoakan tanah Papua serta pemerintah Indonesia yang dinilai banyak membuat kesalahan di wilayah paling timur ini.

Penari Sampari dari Biak menari-nari untuk mengantarkan tifa yang akan dipukul oleh ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut dan para pimpinan wilayah adat lainnya.

Gabungan TNI/POLRI menjaga ketat prosesi perjalanan KRP dari tanggal 16-18 Oktober. Namun, Gabungan TNI/POLRI memicu kekacauan pada penutupan KRP III, (19/10). KRP III berakhir dengan bertumpahkan darah oleh Gabungan TNI/POLRI.


Tragedi Setelah KRP III Berdarah!

KAPOLDA menangkap enam tersangka pasca pembubaran massa KRP III, Rabu (19/10). Diantaranya, Forkorus Yaboisembut, S.Pd., Edison Gladius Waromi SH., August Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut, Gat Wenda dan Selpius Bobii.

Namun, sejak Kamis (20/10), ada lima yang lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka. Yaitu: Forkorus Yaboisembut (Ketua Dewan Adat Papua/Presiden), Edison Gladius Waromi SH. (Perdana Menteri), August Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut, dan Gat Wenda. Dari lima tersangka, empat orang dikenakan; Pasal 110 Ayat (1) KUHP, Pasal 106 KUHP, dan Pasal 160 KUHP. Gat Wenda, dikenakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Karena, membawa senjata tajam. "Kabid Humas Polda Papua, Kombes Polisi Wachyono.”

Pernyataan Kapolres Jayapura Kota, AKBP Imam Setiawan, saat Jumpa Pers dengan wartawan, Kamis (20/10) pukul 14.00 WIT di Mapolresta, menyatakan bahwa Ketua Panitia Penyelenggara KRP III Selpius Bobi masih dalam pencarian (buron).

Kata Gustav Kawer, SH., kuasa hukum, “pemberitaan media yang menyatakan Selpius Bobii adalah buron. Hal itu tidak benar, karena yang bersangkutan, Kamis (20/10) pukul10.30, Selpius Bobii di dampingi Viktor Mambor (wartawan) dan Lucky Ireeuw (anggota AJI Kota Jayapura), telah menyerahkan diri ke Polda Papua.

Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) merilis nama-nama korban pasca KRP III, kemarin. Enam orang di tembak mati; James Gobay (25), Yosaphat Yogi (28), Demianus Taniwo Kedepa (25), Max Asayeuw (35), Yakobus Samonsabra (53), Pilatus Wetipo (40). Tiga orang korban luka; Ana Adi (40), Miler Hubi (22), dan Matias Maidepa (25).

Demianus T. Kedepa (25) ditemukan, Jumat (21/10) pukul 16.00-an sore di perkebunan, belakang Markas Komando Resor Militer. Jarak dari Markas Komando Resor Militer ke Lokasi KRP 300-an meter. Korban laki-laki dewasa meninggal ditembak di Kepala, belakang. Dan kemudian, DS 5665 ACP, No. Polisi, membawa Jenasa korban ke RS. Dok II, diotopsi.

JUBI (Friday, 21 October 2011 23:20) - Yakobus Samonsabra (55) dan Max Asayeuw (33) di tembak mati pada tragedi KRP III berdarah, 19 Oktober 2011. Dan Jumat (21/10), dimakamkan di Pemakaman Keluarga, Kampung Waibron, Sentani Barat.

Gabungan aparat militer (TNI dan POLRI) malakukan pembubaran paksa dan menangkapan 300-an orang. Dan puluhan orang masih mengungsi di hutan, belakang Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur, Padang Bulan,” kata Matius Murib, Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Kamis, 20 Oktober 2011.

Pemukulan terhadap peserta kongres selang beberapa menit setelah upacara penutupan di Lapangan Sepak Bola Zakeus. Saat menari dan bersalam-salaman, polisi menyeruduk masuk dan memukul dengan rotan. “Ada juga yang diinjak. Saya kurang tahu alasan mengapa polisi masuk dan memukul,” kata Tonggap, aktivis Papua.

Jimmy Paul Koude (44), salah satu peserta Kongres Rakyat Papua (KRP) III, mengaku dirinya dipukul oleh seorang anggota TNI dikepala bagian kiri dan kanan dengan popor senjata hingga bocor. Tak hanya itu, punggung korban dibagian kiri juga dipukuli dengan senjata hingga kemerah-merahan dan bengkak. Pemukulan itu terjadi ditengah lapangan Zakheus setelah kongres, Rabu, 19 Oktober.

Sampai saat ini, media masih meramaikan tindak kekerasan gabungan TNI/POLRI terhadap peserta KRP III.


Untuk Siapa Pasal Makar itu?

KEBEBASAN rakyat Papua untuk menyampaikan pendapat dijamin oleh preamble (muka dimah) UUD 1945, UU No. 09 Tahun 1998, Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Tahun 2007.

Demokrasi di zaman reformasi adalah suatu situasi yang dijamin kebebasan setiap orang untuk menyampaikan pikiran dan pendapat.

Namun, Pasal Makar dikhususkan untuk orang Papua. Pasal Makar diproses dengan jalur hukum dan untuk melawan UU No. 09 Tahun 1998 dan 2007.

Sesuai Kronologis KRP III, rakyat Papua telah menghidupkan dan menghargai Indonesia sebagai Negara Hukum.

Tetapi, Indonesia tidak menjalankan Pasal Makar sesuai prosedur. Kapolda Papua menangkap enam tersangka (korban) pasca pembubaran massa KRP III, Rabu (19/10). Diantaranya, Forkorus Yaboisembut, S.Pd., Edison Gladius Waromi SH., August Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut, Gat Wenda dan Selpius Bobii. Gat Wenda, dikenakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Karena, membawa senjata tajam. Dan lima korban lainnya dikenakan Pasal Makar.

“Ini Negara Hukum, saya, Media atau Polisi, harus junjung tinggi azas praduga tak bersalah. Masih terlalu pagi kalau bilang mereka itu bersalah dan melakukan makar. Apa yang mereka sampaikan kemarin di lindungi oleh UU NKRI (UUD 1945), sebagai bentuk dari kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi,” Kata Gustav Kawer, SH., kuasa hukum (melalui Bintang Papua), Jumat, (21/10).

Tambahannya, tegas, “dan itu di lindungi oleh negara sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM). Jadi yang bisa mengatakan mereka itu bersalah dan melakukan makar, hanyalah Hakim. Setelah ada keputusan yang incraht (berkekuatan hukum yang tetap). Kalau Polisi bilang mereka aparat hukum, kami berharap azas hukum juga harus di junjung. Jangan tergesa – gesa menjustifikasi orang tanpa melalui sebuah proses peradilan.”

Dalam surat tembusan kepada Duta Besar AS untuk Indonesia Scot Marciel tersebut, Faleomavega menyebutkan bahwa insiden penangkapan terhadap peserta KRP III adalah pelanggaran serius dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Terutama mengingat bahwa Pemerintah Indonesia adalah penandatangan kedua perjanjian PBB tentang Kovenan Internasional Hak Sipil, Politik, dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. (Published; http://indigenouspeoplesissues.com/).

Komnas HAM papua, menyesalkan pendekatan represif TNI/POLRI yang membubarkan KRP III dan menimbulkan korban. “Polisi tidak menggunakan pendekatan persuasif dan dialogis, sengaja memilih jalan kekerasan. Presiden SBY harus segera membuka ruang dialog pada masyarakat Papua,” ujar Matius Murib.

Komnas HAM sebelumnya sudah memperingatkan POLRI agar tidak menempuh jalan kekerasan dalam membubarkan KRP III. “Tapi tetap saja ada alasannya. Ini bentuk kesengajaan. Mengapa tidak dari hari pertama saja saat pengibaran Bintang Kejora mereka ditangkap? Kenapa menunggu sampai hari terakhir hingga ada korban?” ujar Matius Murib.

Rakyat Papua Barat telah menunjukkan nilai hukum yang sebenarnya. Pelaksanaan KRP III, bersifat demokrasi di zaman reformasi ini. Dan , saat KRP III. Kebebasan rakyat Papua untuk menyampaikan pendapat dijamin oleh preamble UUD 1945, UU No. 09 Tahun 1998, Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Tahun 2007.

Namun, balasan dari gabungan TNI/POLRI adalah murni Pasal Makar. Dan telah mencoreng nama baik Indonesia sebagai Negara Hukum. Sesuai dengan penandatangan kedua perjanjian PBB tentang Kovenan Internasional Hak Sipil, Politik, dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan tidak pernah menjelaskan dan bahkan mereka sendiri tidak mengerti definisi “kedaulatan Negara dan keutuhan wilayah NKRI” seperti apa bentuk, model, dan wujudnya.

Jargon yang diperlihatkan dan diwujudkan selama ini adalah “NKRI Harga Mati.” Maka, siapa yang melawan akan kami tumpas. Seperti diungkapkan Kol. Kav. Burhanuddin, waktu menjadi Danrem 172/PWY Jayapura pada 12 Mei 2007 di Cenderawasih Pos, “Pengkhianat Negara Harus Ditumpas.”

Melalui, Tempo interaktif, Jayapura - Imparsial mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menyelesaikan masalah Papua. Penembakan saat Kongres Papua III di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Jayapura, Rabu 19 Oktober 2011, tak dapat dibenarkan.

Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, dalam surat eletronik yang diterima Tempo, Minggu, 23 Oktober 2011, menegaskan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka dalam peristiwa tersebut seharusnya dapat dihindari. “Jatuhnya korban jiwa memperburuk situasi di Papua dan tanpa koordinasi yang baik justru semakin meningkatkan rasa tidak aman bagi rakyat Papua,” ujarnya. (*)


Penulis adalah Mahasiswa STTA (Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto), Yogyakarta.
Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Penerbangan.
Melkianus Dogopia (09050136)

Email: wayai.deto@gmail.com

comment 0 komentar:

Posting Komentar

.:: Kawan, Tinggalkan PESAN dulu! ::.

Delete this element to display blogger navbar

 
Powered by Blogger