RUPIAH MEMBUNUH JIWA KEMANUSIAAN KU

Oleh: Ogeeyoka DT *)



(Sumber Foto: http://industri.kontan.co.id/v2/read/industri/10716/Rupiah-Memimpin-Penguatan-Mata-Uang-Asia)


Sebelumnya penulis (pemula) akan menguraikan, apa itu: Rupiah, Membunuh, Jiwa, dan kemanusiaan secara umum. Dan pada paragraf akhir akan diisi dengan kesimpulan. Yang mungkin mempermudah pembaca untuk melihatnya. Dan sebenarnya kita semua sudah mengetahuinya, namun penulis hanya ingin mengingatkannya.

Perkataan “rupiah” berasal dari perkataan “Rupee”, satuan mata uang India. Indonesia telah menggunakan mata uang Gulden Belanda dari tahun 1610 hingga 1817. Setelah tahun 1817, dikenalkan mata uang Gulden Hindia Belanda. Mata uang rupiah pertama kali diperkenalkan secara resmi pada waktu Pendudukan Jepang sewaktu Perang Dunia ke-2, dengan nama rupiah Hindia Belanda. Setelah berakhirnya perang, Bank Jawa (Javaans Bank, selanjutnya menjadi Bank Indonesia) memperkenalkan mata uang rupiah jawa sebagai pengganti. Mata uang gulden NICA yang dibuat oleh Sekutu dan beberapa mata uang yang dicetak kumpulan gerilya juga berlaku pada masa itu. Sejak 2 November 1949, empat tahun setelah merdeka, Indonesia menetapkan Rupiah sebagai mata uang kebangsaannya yang baru. Kepulauan Riau dan Irian Barat memiliki variasi rupiah mereka sendiri tetapi penggunaan mereka dibubarkan pada tahun 1964 di Riau dan 1974 di Irian Barat.

Seperti yang kita ketahui bahwa rupiah adalah mata uang dari Negara Indonesia. Sebagai bangsa yang dijajahnya yaitu WEST PAPUA dituntut untuk wajib menggunakannya. Dimulai dari nilai satu sen rupiah dan berakhir pada seratus ribu rupiah. “Trada rupiah trada hidup,” kata mereka yang duduk dikursi empukh dan mereka yang mementingkan diri sendiri. Rupiah adalah benda mati yang tak tentu. Namun, memunyai nilai yang membuat rupiah bisa berada pada siapa saja sesuai dengan kebutuhannya saat itu dan besok.

Apa itu Membunuh? Seperti yang kita ketahui bersama membunuh adalah menghentikan (mematikan) atau mempertidak berdayakan sesuatu maupun seseorang. Hanya saja membunuh itu bahasa bakunya, bahasa sehari-hari yang sudah tidak lasim lagi buat kita ucapkan. Banyak sekali istilah membunuh itu yang diikutkan denga kata benda, seperti: Membunuh orang, membunuh karakteristik, membunuh binatang, membunuh TV, membunuh Bola (biasanya memakai kata ”mematikan”), Dan masih banyak lagi. Namun, di sini terlihat bahwa membunuh ini terbagi atas tiga bagian; Membunuh yang bersifat benda hidup, membunuh yang bersifat benda mati, dan membunuh yang bersifat kejiwaan (kebatinan). Maksud dari tulisan ini adalah ”Membunuh yang bersifat kejiwaan.” Yang mana, tidak sebagai manusiawi yang mengabaikan nilai kebersamaan dan mengorbankan orang lain.

Jiwa adalah sesuatu yang menghidupkan, sehingga seseorang itu bisa berdiri tegar tanpa ada keraguan apapun. Banyak contoh yang menggunakan kata ”jiwa,” seperti: Berjiwa besar, Jiwa kemanusiaan, jiwa pengorbanan, dan yang lainnya. Yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Jiwa Kemanusiaan. ”Hidup mu tergantung pada Jiwa Kemanusiaan mu,” kata Nelson Mandela.

Kemanusiaan adalah bersifat manusia. Kenapa itu bisa ada? Karena, Manusia diciptakan secitra, serupa, segambar dengan Yang Maha Kuasa. Jadi, segala sesuatu yang bermuara kebaikan adalah Manusia, seperti yang diinginkan Yang Maha Kuasa.

Hal yang paling membahayakan adalah saat-saat darurat (mendadak) yang saat itu rupiah sedang tidak berada di tempat. Sejumlah rencana pun pasti datang menghampiri, baik itu buruk mau pun baik. Apabila saat itu kesempatannya bersifat kebersamaan dan kamu memanfaatkan momen itu untuk berapa persen rupiah kamu kantongi, di saat itu lah kamu membunuh jiwa kemanusiaan mu. Karena, secara tidak langsung saat itu kamu sedang bertarung antara sifat buruk dan jiwa kemanusiaan mu. Apabila saat itu kesempatan yang datang bersifat individu (pribadi mu), memang pantas kamu kantongi rupiah itu. Karena, itu milik mu.

Rupiah Membunuh Jiwa Kemanusiaan ku, yang terpenting adalah bagaimana kamu bisa mengontrol diri mu di saat-saat darurat itu. “Trada rupiah trada hidup,” kata mereka yang duduk dikursi empukh dan mereka yang mementingkan diri sendiri. ”Kalau masih bisa bernafas, masih bisa melihat sesama, dan masih bisa makan (walaupun, sehari sekali). Ya, itulah hidup yang sesungguhnya,” kata anak jalanan dan keluarga yang sederhana. Acuannya adalah manusia hidup untuk meninggal dan meninggal itu pasti ada disetiap manusia. Jadi, apa yang harus saya persiapkan sebelum malaikat maut datang menjemput saya? Pertanyaan buat kita semua, agar menjadi pedoman untuk hidup lebih baik. Saya sebagai penulis pemula, sedang mencobanya. Walaupun, berat pasti bisa bersama Sang Juru Slamat. Karena, yang diinginkannya adalah Kebenaran, Keadailan, dan Kebaikan yang mana semua itu dirangkup dalam, ”KEMANUSIAAN.”

comment 0 komentar:

Posting Komentar

.:: Kawan, Tinggalkan PESAN dulu! ::.

Delete this element to display blogger navbar

 
Powered by Blogger