Kongres Diawali dengan Menggambarkan Kekejaman Militer RI di Papua

AS Memberikan Deadline 2 Tahun Bagi Indonesia
Jumat, 08 Oktober 2010 16:44
Oleh-Oleh Dari Paman Sam Negara Adikuasa
AS Memberikan Deadline 2 Tahun Bagi Indonesia

Dari Perjalanan hearing oleh Ketua DAP, Forkorus cs ini ada yang menyimpulkan adalah bahwa pada akhirnya suara penderitaan ‘bangsa Papua’ tercatat resmi. Washington Paham bahwa Otsus gagal dan kegagalan itu bukan karena kemalasan orang Papua, namun kegagalan itu dikarenakan Pemerintah memang tidak punya niat baik sehingga menggagalkan sendiri program yang mereka paksakan itu.

OLEH : Jimmi Fitowin, Bintang
++++++++++++++++++++++++++
Rabu sekitar pukul 17.30 sejumlah tokoh politik Papua dibawah Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut mendarat di Bandara Sentani. Dari Informasi yang diperoleh bahwa Forkorus Cs baru saja menghadiri unda­ngan resmi Parlemen Amerika Serikat (DPR AS) beberapa hari lalu.
Lalu apa saja agenda ke­giatan yang dilakukan Forkorus cs di AS, yang terungkap pada kegiatan masyarakat Papua Kamis (7/10) kemarin di Makam Theys Eluay?
Tubuh Jangkung, de­ngan wajah dihiasi jenggot putih pertanda rentang usia yang sudah semakin senja itu mendapat tepuk tangan meriah dan teriakan merdeka ketika langkah kakinya menaiki sebuah kursi bangku ke atas panggum darurat yang dibuat dari sebuah mobil pick up. Ya sosok Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut adalah tokoh pertama yang diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato politiknya.
Forkorus menjelaskan sebenarnya keberangkatan mereka ke AS itu dilakukan dengan cara diam-diam, atas undangan anggota Kongres, untuk menghadiri sebuah kegiatan resmi yakni testimoni (memberikan kesaksian), serta dengar pendapat di Gedung Parlemen AS. Dalam Keterangan perss kepada wartawan kemarin Forkorus didampingi Pdt Herman Awom S.Th, Eliezer Awom, Edison Waromi SH, serta serta Drs Albert S Kaliele mengatakan pada Selasa (22/9) jam 3 sore waktu AS delegasi asal Papua memasuki gedung Kongres Amerika Serikat.
Mengawali sidang tersebut, salah satu anggota Parlemen AS yang juga merupakan Ketua sub Komisi Asia pasifik dan lingkungan global Eni F.H. Faleomavega menggambarkan kekejaman militer RI yang terjadi di Papua dengan menceritakan pengalaman dirinya ketika tahun 2007 memimpin delegasi kongres sesuai ijin Presiden SBY dan wakilnya JK untuk mengunjungi Papua selama 5 hari dengan mendatangi Biak, Manokwari dan Jayapura.

Namun dari cerita wakil rakyat dari Samoa ini delegasi yang dipimpinnya itu tiba-tiba dideadline hanya dua hari saja di Papua secara tiba-tiba. Saat tiba di Jakarat 25 November 2007, tiba-tiba lagi Eni cs diberitahukan hanya bisa berkunjung ke Papua hanya satu hari saja, itupun di Biak hanya 2 jam, Manokwari 10 menit. Enipun dicegat oleh blokade tentara saat akan bertemu masyarakat, sambil menunjukkan video rekaman yang mereka abadikan pada saat itu di hadapan anggota hearing. Dari kisah tersebut sebuah kesimpulan terkuak di gedung Capitol itu yakni ada upaya slow motion genocide (melenyapkan ras secara perlahan-lahan red) terhadap bangsa Papua.
Usai Eni memberikan gambaran kondisi politik yang sesungguhnya di Papua, melalui pengalamannya itu 3 orang juru bicara yang mewakili rakyat Papua yakni Ocktovianus Mote, Henk Rumbewas, dan Salmon Yumame menyatakan Referendum sebagai satu-satunya jalan dalam menyelamatkan diri dari proses kepunahan bangsa Papua dari atas tanahnya. Mereka mengakui jika hal ini bukanlah sebuah pernyataan politis, tetapi sejumlah fakta yang diakui sejumlah pihak akademis yang mana bukan saja mengakui akan fakta crime against humanity melainkan genocide.
Namun menurut Forkorus cs itu dari secretariat Negara RI Franz Albert Yako dan Niko Messet dipaksakan untuk hadir memberikan kesaksian minor bahwa Papua tetap berintegrasi ke dalam pangkuan NKRI. Itu terbukti melalui naskah yang dipersiapkan oleh keduataan besar NKRI, dengan rumusan standar yang menuding Eni Faleomavega sebagai seorang politis Amerika tidak bertanggung jawab yang selalu membesar-besarkan situasi Papua.
Bahkan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Dino Patti Djalal menyepelehkan agenda resmi dengar pendapat karena menurutnya hanya dihadiri oleh tiga anggota Kongres, apalagi Dino yakin bahwa hearing tersebut tidak akan mengubah kebijaksanaan Pemerintah Amerika.
Namun konsep berfikir Dino itu buruh-buruh ditepis oleh Eni Faelomavaega yang mengatakan sekalipun dimata Dino hearing tersebut tidak penting tapi yang tidak Dino sadari adalah berbagai pertemuan penting yang dilakukan oleh delegasi Papua Barat dengan berbagai lembaga penting seperti Departemen Luar negeri departemen Pertahanan Dewan Pertahanan Nasional serta sejumlah anggota Kongres yang sangat berpengaruh dan tidak hadir pada saat hearing karena kesibukan mereka.
Eni juga mengatakan 50 anggota Kongres yang merupakan anggota kaukus hitam yang memiliki komitmen yang tinggi untuk akhiri berbagai pelanggaran yang menyebabkan konflik yang berkepanjangan di Papua akan mengirimkan surat kepada Pemerintahan Barak Obama untuk membicarakan masalah Papua dengan Presiden SBY sebagai agenda prioritas, karena kebijakan Otsus diniali gagal, serta indikasi slow motion genocide yang terbukti dengan kekerasan dan intimidasi terhadap rakyat Papua.

Ketua DAP, Forkorus cs FORKORUS mengatakan, atas problem ini utusan ‘bangsa Papua’ sudah jelas-jelas bahwa rakyat Papua tolak otonomi. Langkah konkrit yang akan dilakukan dalam kaitan ini adalah memastikan agar DPRP mengembalikan paket itu secara resmi sebagai hasil sidang istimewa/paripurna.
Juga dari perjalanan tersebut bahwa Washington dan dunia paham bahwa bangsa Indinesia sedang berupaya menghabiskan bangsa Pa­pua. Forkorus juga mengatakan bahwa Indonesia boleh juga membantah melalui pernyataan politisnya, tetapi tidak akan membantah akan crime against humanity yang dilakukan Indonesia terhadap bangsa Papua.
Demi kepentingan bilate­al AS menolak mengakui akan adanya genocida, tapi Negara adidaya ini tidak akan menutupi bahwa penduduk Papua akan menjadi minoritas, di tanahnya sendi­ri. Jalan keluar dari masalah ini ‘bangsa Papua’ mempertegas pola perjuangan damai sebagaimana dilakukan selama ini.
Dengan me­mi­lih kembali ke­pada Tuhan yang menciptakan bangsa Papua dan menempatkannya di tanah Papua, keputusan aksi damai ini didukung berbagai pihak yang sempat dijumpai dalam perjalan menuju AS.

Dalam hearing tersebut juga para delegasi Papua itu menga­takan bahwa mereka sadar Indonesia akan senantiasa melahirkan manusia-manusia Papua yang rela menjual bangsanya untuk sekedar mencari makan dan jabatan. Menurut Forkorus cs mereka ini akan dipakai untuk memecah belah kesatuan yang telah diciptakan.
Dari perjalan hearing itu Forkorus cs mengaku sudah berhasil merekonsiliasi antara berbagai komponen perjuangan. Dimana komponen perjuangan yang dimaksud adalah PDP dan WPNA yang bergabung dibawah consensus nasional dan komponen perjuangan lainnya yang tergabung di dalam WPNCL.
Dalam orasi politik yang dilakukan 2 hari lalu itu, Forkorus cs juga mengatakan bahwa AS memberikan deadline waktu 2 tahun bagi Indonesia untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada di Papua. Apakah 2 tahun itu juga bakal tercapai hasrat utama politis vocal asal Papua itu kita tunggu kebenarannya. (selesai).

sumber: Harian Bintang Papua-http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7736%3Akongres

comment 0 komentar:

Posting Komentar

.:: Kawan, Tinggalkan PESAN dulu! ::.

Delete this element to display blogger navbar

 
Powered by Blogger